cr: agnes davonar Blog
Setelah saya diusir dari rumah dan menghilang selama dua hari lamanya, nenek memang mulai sedikit melunak terhadap sikap saya tapi ia masih tak segan memukul saya bila saya nakal. Saya pun kembali ke bangku sekolah untuk mengejar beberapa pelajaran yang saya tinggalkan karena menghilang dalam pertualangan saya sebagai kernek angkot. Saya murid yang pintar sehingga tidak ada masalah untuk mengejar pelajaran saya dan itu saya buktikan ketika saya kembali menjadi rangking pertama di kelas saya.
Kepintaran saya sama sekali tidak ada gunanya di kelas karena saya tidak dihargai oleh teman-teman saya. Mereka lebih suka menghina saya sebagai penakut dan pengecut walaupun begitu berhasil juga saya mendapatkan sahabat yang mau bermain dengan saya. Beberapa murid perempuan terkadang masih bicara dengan saya untuk sekedar membahas cerita-cerita yang mereka dongengkan dan saya memiliki sahabat dekat bernama Angel yang sering bicara dan suatu ia bertanya pada saya.
“ Denny.. kamu selalu ambil raport sama tante kamu.. kemana orang tua kamu?” tanya teman saya.
“ Mama saya ada di Makassar.. dia bekerja disana. Jadi tidak mungkin dia bisa ambil raport, jadi tante saya yang wakilin.. !!”
“ Oo.. lalu dimana Papa kamu..!”
Saya terdiam dan sebuah pertanyaan sulit untuk dijawab. Saya tidak mendapatkan gambaran sama sekali tentang sosok ayah dalam hidup saya.
“ Saya ga punya Papa.. dan saya ga tau Papa saya”
“ Aneh.. biasa kan orang tua itu ada ayah dan ibu.. kok kamu cuma Mama saja..!”
“ Saya pun tidak mengerti..!”
“ Tidak kamu tanyakan sama Mama kamu..?”
Saya mengeleng-gelengkan kepala saya, saya tidak bisa membayangkan apa yang ibu lakukan pada saya bila saya bertanya tentang ayah. Ibu seperti tidak ingin saya mengenang sosok ayah dalam hidup saya dan saya juga merasa ibu sudah seperti ayah sehingga saya tidak berpikir sosok ayah saya selama ini. Tapi pernah tergelitik sebuah pertanyaan tentang ayah saya dan itu pun bukan jawaban yang saya dapat dari ibu saya, melainkan dari cerita tante saya.
Saya tau ayah masih hidup dan ada di dunia ini tapi itu tidak penting lagi untuk saya, buat saya keluarga saya hanya ibu saya. Kalaupun dia nanti bertemu dengan saya, saya bahkan tidak berharap akan bertemu dengan dia. Ibu sudah cukup keras mendidik saya dengan apa yang ia bisa lakukan, ia keras, disiplin dan ringan tangan tapi itu dia lakukan untuk menjadikan saya anak yang baik dan tidak ada sedikitpun rasa sakit hati karena kekerasan dan ajarannya.
Selama hidup bersama tante, saya harus mengubur rasa rindu saya terhadap ibu saya. Kalaupun saya ingin menangis tidak saya lakukan didepan tante dan nenek saya, saya lebih memilih berdiam di kamar sambil membaca surat yang ia kirimkan untuk saya setiap bulannya. Saya ingin sekali bercerita kalau saya terkadang tidak kuat berada disini tanpanya, saya mungkin mampu melakukan apapun yang diperintahkan oleh tante saya andai saja ibu ada disamping saya. Sayangnya saya tidak sampai hati menyampaikan perlakuan mereka pada saya.
Tuhan sepertinya mendengarkan keluh kesah saya hingga pada suatu hari, anak tante saya yang saudara kandung ibu bernama Weldy datang ke Jakarta dalam rangka perlombaan Karate. Ia saat itu melupakan atlit Karate yang berprestasi dan selama di Jakarta ia menumpang di rumah tante saya. Ia juga tidur bersama saya dan saya sangat senang punya teman bicara saat malam bersama dia. Dia juga membawakan makanan yang ibu titipkan untuk saya dan itu bisa membuat saya tidak kelaparan saat malam hari.
Weldy yang saya panggil kakak seperti kebingungan ketika ia melihat saya bangun pagi hanya untuk membersihkan rumah dan melakukan berbagai perkerjaan yang tidak seharusnya saya lakukan. Ia mungkin bertanya dalam hati mengapa tante saya tega memperlakukan saya dengan tidak sepantasnya karena usia saya yang masih kecil. Ketika itu ia langsung menghampiri saya untuk bicara ketika saya sedang menyapu ruang tamu.
“ Kamu ngapain Den,?”
“ Nyapu… bersihin rumah supaya rapi!”
“ Kamu nyapu gini iseng apa gimana?”
“ Gak.. ini tugas saya kalau bangun pagi sebelum sekolah.. uda biasa kok..!”
“ Loh.. mau sendiri apa disuruh..!”
“ Disuruh sama tante.. saya nyapu dulu deh.. ntar kesiangan sekolahnya..!”
Saudara saya hanya bisa menarik nafas dalam melihat kejadian itu, saya pun terburu-buru untuk melakukan tugas saya karena semalam saya bicara terlalu lama dengan Weldy. Saya senang ibu baik-baik saja dan bahkan mulai menunjukkan keuangan yang membaik, ia menitipkan pesan ibu kepada saya untuk belajar dengan giat sehingga nanti besar menjadi orang berguna dan besar. Dan kata kata itu saya tanamkan dalam-dalam di hati saya. Andai saja ibu tau saya sangat merindukan dan mencintai dia maka itu saya rela bertahan seperti ini mungkin dia akan lebih bahagia.
***
Pindah ke Surabaya dengan ibu.
Saya sedih ketika Weldy kembali ke Makassar karena saya jadi kehilangan teman bicara saat malam hari tapi ia memang harus kembali karena ia tidak bisa berlibur lama-lama di Jakarta, ia pun berjanji akan kembali nanti dan mengajak saya bicara banyak hal. Setelah Weldy pulang ternyata ia menyampaikan semua perlakuan tante saya kepada ibu, ibu sangat marah ketika itu dan langsung mengambil keputusan untuk membawa saya pulang tapi tidak terburu-buru karena saat itu ia juga sedang sibuk berpikir untu pindah ke Surabaya.
Saya tidak pernah berpikir ibu akan jatuh cinta dan memiliki laki-laki lain dalam hidupnya karena saya itu saya tidak berpikir ia akan mencintai orang lain selain saya, ternyata saya salah ibu sedang dekat dengan seorang pria bernama Aldi, saya tidak jelas darimana mereka berkenalan tetapi yang saya tau ibu begitu jatuh cinta pada pria yang usianya tidak terlalu berbeda dengannya. Ibu memang masih muda dan cantik lagipula usianya juga belum genap 30 tahun sehingga tidak heran ia begitu memikat.
Mungkin yang membedakannya adalah ia adalah seorang janda beranak satu dan bernama Denny sumargo. Aldi seorang pria yang tidak terlalu dekat dengan saya tapi saya tau ia dan ibu saling mencintai sehingga itulah ibu memutuskan untuk pindah bersama dia ke Surabaya untuk membangun kehidupan baru dan kesempatan itulah yang ibu gunakan untuk membawa saya pergi dari tante dan nenek saya. Tante pun melepas kepergian saya dengan tanda tanya antara sandiwara dan tidak tapi ia sepertinya bersedih.
Di Surabaya saya tinggal di sekitar pantai kenjeran di timur Surabaya, disanalah kami mengontrak rumah sederhana dan memulai hidup baru kami. Saya memanggil Aldi dengan sebutan Om, tapi jarang saya gunakan karena kami juga jarang bicara selain saat makan bersama atau ibu meminta saya memanggil dia. Saya bersekolah di sekitar swasta yang lebih baik dari sebelumnya karena disini lebih banyak warga keturunan walaupun ada penduduk lokal tapi mereka sangat akur dan baik.
Saya duduk di kelas 4 Sekolah Dasar dan langsung menjadi perhatian karena memiliki kepintaran yang tidak mereka kira, saya masih ingat nilai Matematika saya selalu mendapat 9, 5 di rapot, guru saya sampe kebingungan untuk memberikan angka 10 karena itu tidak diperbolehkan. Saya mendapatkan perhargaan dan rasa hormat lebih baik dari teman-teman saya kebanding di sekolah saya dulu. Dan saya pun langsung menjadi terkenal di sekolah saya.
Ibu masih melakukan perkerjaan seperti biasanya yakni, berdagang pakaian dan berkerja sambilan di sebuah Salon. Sedangkan Om Aldi bekerja tapi saya tidak pernah jelas dengan pekerjaannya, ia hanya sering pulang pada malam hari dan tertidur tanpa banyak bicara. Ibu selalu hidup hemat dan menabung setiap sen rupiah yang ia dapatkan untuk menggapai mimpinya membuka Salon, saya tau karena ibu selalu menyimpan uangnya di Bank bersama saya.
Hidup saya juga lebih terjamin dengan tanpa perlu menahan rasa lapar karena ibu selalu membuatkan saya makan bila saya lapar dengan cepat. Kesehatan saya nomor satu buatnya, disamping ia juga harus melayani kebutuhan Om Aldi. Mereka tidak menikah secara resmi, saya tidak tau alasan demikian tapi saya rasa ibu tidak ingin pernikahannya gagal sehingga memutuskan hidup bersama tanpa ikatan dan saya lihat selama mereka tinggal bersama, mereka akur-akur saja.
Tiga tahun hidup kami berjalan dengan baik, ibu mulai merasa hidupnya lebih baik dan berencana membuka salon dengan biaya yang telah ia kumpulkan selama tiga tahun itu, ia mulai mencari ruko dan berbagai persiapan untuk membuat salon. Ia mempercayakan semuanya kepada Om Aldi karena ia terlalu sibuk untuk bekerja dan mengumpulkan modal lebih banyak lagi. Om Aldi memang sepertinya terlihat sibuk membantu ibu mengurus usaha barunya itu. ia bahkan selalu berada dirumah tidak seperti biasanya ketika saya pulang ia tidak ada, saya jarang sekali bicara dengan dia dan bahkan sepertinya kami saling menghindari. Saya merasa tidak cocok dengannya ntah apa karena asing terhadap sosok pria dia hidup saya karena selama ini saya hidup dengan sosok wanita seperti tante, dan nenek saya.
Mendung itu tiba.
Suatu hari saya begitu bahagia karena mendapatkan kabar dari guru saya kalau saya akan mendapatkan hadiah karena mendapatkan nilai ulangan sempurna dan segera pulang membawakan berita baik itu kepada ibu. Ketika tiba di rumah, saya merasa ada yang aneh dengan rumah saya. Rumah saya berantakan dan banyak barang-barang yang berantakan seperti habis di bom saja. Saya langsung menuju kamar ibu, bertapa terkejutnya saya menemukan ibu menangis sambil terduduk di tembok.
Saya mendekati ibu yang seperti orang linglung dan rusuh bersama air mata di pipinya.
“ Mama.. mama kenapa.. ?” tanya saya.
Mama terdiam dan ia langsung memeluk saya tanpa saya tau ada apa dengan dia. Saya hanya bisa mendengar tangis dia yang tiada henti dan ia hanya mengulang satu kalimat yang sama dan itu adalah
“ Habis semuanya.. habis semuanya.. “
Saya masih tidak mengerti apa yang ia maksud tapi saya tau ini berita yang buruk dan saya berharap om Aldi segera pulang untuk membuat ibu saya tenang. Tapi akhirnya saya harus bersedih karena ternyata yang membuat ibu saya menangis seperti ini adalah OM Aldi. Saya baru menyadari ketika beberapa tetangga saya datang untuk membantu menenangkan ibu dan dengan sedikit menguping saya mendengar sebuah hal yang paling menyakitkan.
Om Aldi yang ibu cintai ternyata tega membawa kabur uang yang ibu saya simpan untuk usaha salonnya sebesar seratus juta Rupiah. Jerih payah dan keringat yang ia jatuhkan demi masa depan hidup kami yang baik lenyap begitu saya oleh pria yang ia pikir begitu mencintainya dan ternyata menjadi maling dalam kehidupan kami. ibu terlalu mempercayai pria itu hingga tanpa sadar menyerahkan uangnya begitu saja untuk dibawa kabur.
Ibu sangat frustasi dengan kejadian yang memilukan itu, saya masih ingat ketika itu saya sedang belajar dan ibu menangis lalu menghantamkan keningnya ke tembok sambil menangis. Saya sangat panik dan mencegahnya sambil menangis.
“ Mama.. mama jangan begitu.. mama jangan kayak gini.. jangan Ma..”
“ Mama.. hancur.. mama benar-benar hancur..”
Saya menangis dan menahan kepalanya dengan sekuat tenaga agar ia tidak melakukan tindakan yang bisa membuatnya terluka. Tangis saya sepertinya bisa membuat dia sedikit berpikir untuk tidak melakukan perbuatan itu lagi, saya sadar sekali dengan maksud kata-katanya. Hatinya sungguh telah hancur dan hidupnya sungguh merasa jatuh. Ia tidak hanya kehilangan uang yang ia simpan dengan keringatnya tapi juga kehilangan cinta dan penghianatan seorang laki-laki yang begitu mencintainya.
Tidak pernah dalam hidup saya begitu sedih melihat sosok ibu saya yang begitu menyerah terhadap cobaan hidupnya. Kami jatuh dalam sebuah kehidupan yang menyedihkan dan ia tidak berusaha untuk bangkit, ia menjadi sosok yang lemah dan tak berdaya bahkan tidak pernah berpikir bahwa ia memiliki saya yang harus ia perjuangkan. Yang kami punya hanya sedikit uang untuk bertahan hidup tidak lebih dari satu minggu, untung saja ada tetangga yang berpikir membantu kami melihat tragisnya hidup kami.
Karena begitu sedihnya melihat sikap ibu, nilai saya di sekolah menurun dan selalu cemas takut ibu melakukan tindakan-tindakan yang saya takuti semacam untuk bunuh diri dan lari meninggalkan saya. Saya selalu ingin pulang cepat dan jarang sekali bermain bersama teman-teman, ketika saya pulang saya berharap ibu menyambut saya dengan senyuman ternyata tidak, wajahnya yang cantik kini tanpa pucat dan tidak beraura seperti biasanya, ia seperti hidup bukan pada dirinya.
Saya masih ingat ketika saya sangat kelaparan dan ibu hanya memiliki uang yang sedikit. Saya terus menjerit kelaparan dan ibu tidak tahan melihat keadaan saya lalu memberikan uang terakhir yang ia punya dari menjual kalung perhiasannya. Ia menyuruh saya untuk memberikan makan di luar dan saya pun berjalan kaki untuk mencarinya. Saya tau bukan hanya saya yang lapar tapi ibu juga lapar tapi ia berusaha untuk menahan rasa itu dihadapan saya. Saat itu sudah sangat malam dan saya pun segera mencari makanan di sekitar lingkungan rumah saya.
Saya melihat penjual nasi bebek yang masih berjualan sedangkan banyak penjual makanan tutup. Saya mendekati pria itu untuk membeli makanan yang ia sajikan.
“ Pak saya mau nasi bebek berapa harganya?”
“ Ini sebungkusnya dua ribu rupiah..!” ujar penjual itu dan saya merongo uang di saku saya yang hanya terdapat beberapa lembar ratusan dan terkumpul enam ratus rupiah.
Saya sadar uang saya tidak akan cukup untuk memberi makanan itu tapi hanya inilah satu-satunya toko yang buka di malam itu.
“ Pak, maaf. Boleh ga saya beli nasi sama sambelnya saja.. uang saya hanya ada enam ratus rupiah.!”
Bapak itu mungkin heran melihat saya tapi ia sepertinya tau saya tidak punya uang dan akhirnya menerima uang itu dan memberikan nasi dan sambel sesuai yang saya minta. Saya begitu bahagia dan bersyukur mendapatkan makan untuk malam ini, lalu saya membawa pulang kepada ibu. Nasi itu memang tidak banyak hanya semangkus piring kecil yang tidak akan cukup untuk kami disertai sambel kecap yang sengaja saya minta agak banyak. Ibu meminta saya untuk makan terlebih dahulu dan saya memang sudah lapar pun memakannya kemudian ia memakan sedikit dan kami hanya saling memandang dengan pilu.
Nasi dan sambel yang saya makan penuh duka ini tidaklah nikmat tapi setidaknya inilah makanan yang patut saya syukuri karena sejak saat itu ibu mulai berusaha bangkit dari keterpurukan hidupnya. Air matanya berjatuhan melihat saya begitu lahap menikmati makanan yang tentunya tidak akan pernah cukup dan sejak saat itu saya sadar ibu telah kembali menjadi dirinya sendiri. Ia bangkit dari rasa sedih dan hantu bayangan yang menyakitkan dirinya.
Ia kembali bekerja di esok harinya setelah sebulan lamanya frustasi, ia berkata pada saya untuk terus belajar dengan giat dan mulai saat ini hidup kita hanya akan bersama untuk selamanya. Pria yang menyakitinya biarkanlah menjadi yang terakhir dalam hidupnya dan saya tidak berusaha mengungkit pria jahat itu dalam hidup kami. Seperti yang selalu saya pegang teguh dalam hidup saya bahwa apa yang saya miliki saat ini bukanlah sesuatu yang abadi ketika Tuhan menghendaki semuanya lenyap saya harus siap dan ikhlas.
Ibu menatap harinya dengan semangat dan saya pun kembali bersemangat untuk belajar, kami melupakan semua yang pernah terjadi dalam hidup kami dan belajar untuk lebih tidak mempercayai orang lain selain diantara kami berdua. Kami pindah dari rumah kontrakan kami ke sebuah kos yang kecil berukuran 3×4 Meter, bisa dibayangkan dalam satu kamar kecil itu kami menyimpan kompor,dapur dan tempat tidur bersamaan. Bahkan saya harus tidur beralasan tikar karena semua barang yang kami punya sudah kami jual untuk memulai hidup baru.
Diganggu kakak kelas.
Ketika saya masih duduk dikelas 6 Sekolah dasar, saya sering bermain bersama teman-teman sebaya saya ketika usai sekolah. Saya menyukai permainan tembak gundu yang mengunakan bola kelereng sebagai alatnya. Saya sering bermain di jalanan dan suatu ketika seorang pemuda yang saya pikir duduk di sekolah menengah atas sering datang dan mengambil kelereng saya dengan paksa. Saya ingin menolak tapi ia malah memukul saya. Saya hanya bisa menangis dan teman-teman saya juga terdiam tidak bisa berdaya.
Seringnya ia menganggu saya dan merampas mainan saya membuat saya sering menangis pulang dan ibu terlihat kesal dengan sifat cengeng saya. Saya tidak menceritakan masalah saya padanya karena saya takut ia akan marah karena membeli mainan dengan uang jajan saya. Ia memukul saya dan saya pun mengaku mengapa saya menangis.
“ Bola kelereng saya diambil sama kakak kelas saya..!” ujar saya .
“ Lalu kenap kamu kasih..?” tanya ibu saya.
“ Dia kuat dan akan memukul saya kalau tidak saya kasih..!”
“ Hm.. Mama ga sangka kamu begitu pengecut seperti itu Din, sekarang dengarkan mama.”
Aku terdiam menyimak kata-katanya,
“ Mulai besok kalau dia berani ambil mainan kamu lagi, kamu jangan kasih. Kalau dia maksa kamu ambil saja batu di jalanan lalu pukul dia dengan batu itu biar dia takut..!” ujar mama padaku.
“ Aku takut..!”
“ Kalau kamu takut.. dan hanya bisa menangis, mama yang akan pukul kamu. Mama tidak mau punya anak cengeng dan pengecut seperti kamu. Ingat pesan mama. Jangan mama liat kamu sekali lagi membiarkan apa yang jadi milik kamu diambil orang lain dengan paksa.!”
Saya pun menanamkan ajaran ibu dalam penak saya dan benar saja dugaan saya, kakak kelas saya tidak pernah puas berhenti merampas mainan saya. Ia datang pada saat saya bermain gundu bersama teman saya. Teman saya sudah lebih dulu menyerahkan bola kelereng miliknya dan ia pun menghampiri saya.
“ Mana bagian kamu.. berikan pada saya..!”
“ Nggak mau. Ini kan punya saya.. kenapa kamu paksa saya kasih kamu!”
“ Eh.. kamu berani ngelawan ya..mau saya tonjok apa?”
Saya melihat sekeliling saya dan menemukan sebuah batu bata dan mengangkatnya segera. Lalu mengancamnya.
“ Sini kamu kalau berani.. saya pukul kamu dengan ini..”
Melihat saya ia seperti menantang…lalu mendekati saya..
“ Coba aja kalau berani sini..”
Ia meledek-ledek saya dengan wajahnya, sebenarnya saya takut tapi ntah suara setan mana yang membuat saya langsung menghajarnya dengan batubata itu. PLAK… kakak kelas saya terdiam seketika sambil memegang kepalanya yang terasa sakit, semua teman saya tampak menarik panjang terkejut. Darah mengalir perlahan dari kepala kakak kelas saya, ia langsung menangis dan menjerit. Saya lari dari keadaan ketika semua orang terlihat histeris melihat darah berceceran dijalan dan saya juga ketakutan ketika itu, segera saya pulang ke rumah dengan mengunci pintu . Ibu yang pada saat itu baru saja pulang kerja melihat saya dengan aneh dan saya mencoba menyembunyikan apa yang terjadi.
Ibu saya sebenarnya curiga ketika saya mengunci pintu tidak seperti biasanya dan ternyata ia tidak salah ketika ibu dari kakak kelas saya berteriak di depan kos kami dan memanggil-manggil nama ibu dan saya. Teriakan itu membuat ibu saya segera keluar melihat gelangan apa yang terjadi. Ibu kakak kelas saya datang dengan wajah marah bersama anaknya yang baru saja pulang dari rumah sakit.
“ Ada apa ya, Bu?” tanya ibu saya.
“ Kamu liat ini anak saya.. ?” jawab ibu itu emosi.
Ibu memperhatikan kepala kakak kelas saya yang diperban dengan bekas luka masih ada.
“ Lalu kenapa dengan dia..?”
“ Ini semua perbuatan dari anak ibu yang nakal dan brutal.. anak saya sampai bocor kepalanya. Kalau geger otak atau jadi cacat gimana.. ibu mau tanggung jawab?”
Ibu terdiam dan memanggil saya yang ketakutan untuk turun.
“ Din.. benar kamu yang buat dia seperti ini..”
“ Iya.. Ma.. !” ujarku pelan
“ Kenapa kamu bisa kayak gitu..?” tanya ibuku.
“ Dia kakak kelas yang saya bilang suka curi mainan saya..!”
Ibu kakak kelas itu seperti tidak terima dengan kenyataan lalu memaki-maki kami di lingkungan kami dan banyak yang melihat kejadian itu.
“ Anda ini bisa didik anak ga sih.. kalau ga bisa didik anak jangan jadi ibu.. jadi saja pelacur di jalanan. Anak kayak preman kok dipelihara..!” kata kasar ibu itu.
“ Lalu saya harus bagaimana .. ?” tanya ibu berusaha bersabar.
“ Saya ga mau tau.. saya minta ganti rugi dan saya minta ibu didik anak itu dengan benar dan hukum biar ga jadi kayak preman!”
Ibu menarik tangan saya lalu mengambil sapu yang ada disamping pintu kos. Ia langsung memukul saya dengan sadisnya didepan semua orang. Saya berteriak ampun dan berteriak ibu menghentikan pukulan yang menyakitkan itu tapi ibu sepertinya sangat marah dan sangat murka pada saya. Ketika semua orang melihat kami dengan prihatin dan ibu mulai merasa cukup menghukum saya ketika lumuran darah mengalir dari seluruh tubuh saya.
Ibu langsung mendekati ibu kakak kelas saya.
“ Ya. .ibu benar… saya yang mengajarkan anak saya untuk memukul anak ibu dengan batu karena anak ibu suka ngambil mainan anak saya.. sekarang saya sudah menghukum anak saya dengan cara saya dan ibu juga harus mengajarkan anak ibu supaya tidak pernah mencuri milik orang lain..!”
“ Enak saja.. anak saya tidak pernah mencuri.. ibu jangan sembarangan fitnah..”
Tanpa banyak cingcong ibu langsung mendekati kakak kelas saya. Menudingnya dengan sebuah pertanyaan.
“ Benerkan kamu ngambil mainan anak saya setiap dia main sama teman-temannya..”
Karena ketakutan kakak kelas saya terdiam dan menunduk lalu berujar kecil “ ia..”
“ Lihat.. itu yang sebenarnya terjadi. Saya sudah menghukum anak saya .. masalah selesai”
Ibu kakak kelas saya tidak senang dengan kenyataan lalu mulai memaki-maki ibu saya dengan kata kata kasar dan ibu sepertinya sudah tidak tahan.
“ Ibu kalau ibu tidak ada yang bisa mendidik mulut ibu biar saya yang mendidik ibu sekarang juga..!”
Ibu langsung menarik rambut ibu itu dan menjatuhkannya ke lantai dan menamparnya. Banyak orang yang terkaget-kaget melihat tindakan ibu, termasuk saya. Ibu kakak kelas saya hanya bisa berteriak-teriak meminta tolong karena tidak tahan melawan tenaga ibu, ibu memang punya kekuatan yang lebih dari wanita umumnya karena ia berkehendak menjadi Polwan. Ibu sangat marah dan merasa terhina kemudian menarik rambut ibu kakak kelas saya ke jalanan besar lalu melemparkan begitu saja ke got sekitar kos kami yang besar.
Ibu kakak kelas saya sangat malu dan kotor hingga mukanya hitam karena air got. Ibu mulai tenang ketika beberapa tetangga memisahkan mereka dan berkata.
“ Ini didikan saya buat ibu agar bisa menjaga mulut kalau bicara.. inget itu” teriak ibu saya.
Saya yang menangis terkesima hingga tidak bisa menangis melihat bertapa ibu seperti petinju yang membuat KO lawannya. Lalu ia menarik saya masuk dan mengobati semua rasa sakit saya, ketika saya mulai mengerti apa yang ibu lakukan pada saya tadi hanya sebagai bukti bahwa ia memang salah mengajarkan saya untuk melakukan tindakan brutal tapi itu dapat saya lakukan bila saya tidak punya kemampuan yang bisa saya harapkan untuk melindungi saya.
Ibu tidak begitu saja lepas dari masalah ketika membuat malu ibu kakak kelas saya, kami kedatangan Polisi yang langsung menahan ibu dengan tuduhan penganiayaan. Saya menangis saat melihat Polisi itu membawa ibu dan ingin ikut tapi ibu melarang saya untuk ikut. Ia menyuruh saya tetap di rumah dan saya menurutinya, saya hanya bisa berdoa ibu cepat kembali. Sepanjang hari saya menangis dan tiba-tiba ibu pulang dengan tersenyum pada saya.
Ia bebas dari ancaman penjara, saya tidak tau bagaimana ia lolos yang pasti ini adalah keajaiban Tuhan untuk saya. Doa saya saat dirumah tiada henti akhirnya didengar oleh Tuhan, saya senang dan langsung memeluk ibu dengan tangis meledak-ledak. Sejak saat itu saya tidak pernah takut lagi kepada siapapun bila saya dilecehkan atau diganggu, ibu telah mengajarkan saya bahwa seorang laki-laki tidak boleh cengeng dan terdiam saja ketika mendapatkan perlakuan yang tidak pantas.
Itulah sejarah yang membuat saya menjadi keras dan tidak pernah mau percaya pada orang lain karena saya menilai banyak hal dalam hidup saya yang dapat menjadi cermin bahwa hidup kita hanya bisa kita pegang dengan kemampuan kita bukan dengan orang lain.
Mohon maaf sebesar-besarnya kepada teman-teman dan pencinta kisah Denny Sumargo dengan sangat terpaksa lanjutan dari bab ke empat dari buku itu tidak dapat disiarkan secara online lagi. Denny Sumargo dan Agnes Davonar sepakat untuk melanjutkan kisah perjalanan panjangnya, Jika kalian ingin melanjutkan kisahnya silahkan beli Biografi kak Denny Sumargo karya Agnes Davonar yg ada di toko buku terdekat di kota kalian. terimakasih :)